Mengkoridori Gerak Perbankan Maya

Oleh: Adhitya Wardhono, PhD

Pernahkan kita kesal dengan kiriman pesan singkat via ponsel dari lembaga teknologi finansial (tekfin) yang tiba-tiba menginfokan besar utang rekan yang belum terbayar. Ini ulah debt collector yang tidak saja meneror peminjam tetapi juga nomer ponsel rekan-rekan yang ada dalam ponsel peminjam. Ulah lembaga tekfin pinjaman peer to peer (p2p) ini dengan terang-terangan menggumbar data keuangan pribadi nasabahnya. Ini kian marak dalam operasional lembaga tekfin ilegal di era disrupsi sekarang. Galibnya keberadaan perusahaan tekfin ilegal menjadi faktor maraknya shadow banking. Shadow banking atau perbankan maya sering dimaknai sebagai perbankan bawah tanah dan ilegal. Shadow banking merupakan kegiatan produk dan jasa perbankan seperti penghimpunan dana, investasi dan juga pinjaman.

Produk-produk yang ditawarkan dan institusi shadow banking sarat risiko bagi konsumen dan bisa berdampak sistemik terhadap perekonomian. Sejatinya terdapat dua transmisi utama risiko shadow banking, baik melalui keterkaitannya dengan sistem perbankan (interconnectedness) maupun eksposur langsung shadow banking dengan pelaku pasar. Masalahnya shadow banking melalui lembaga tekfin diminati masyarakat karena kerap menawarkan syarat lebih ringan dan kelonggaran administrasi pinjaman berbanding perbankan. Fakta ini menjadi ancaman bagi sektor perbankan dan sistem keuangan nasional. Terlebih shadow banking berada di luar jangkauan regulator. Sehingga shadow banking-pun sulit diukur. Dan apabila menggelembung sepak terjangnya akan menyulut krisis ekonomi.

Perkembangan inovasi teknologi digital menghadirkan perkembangan tekfin dalam platform sistem pembayaran dan varian produk jasa keuangan seperti crowd-funding, peer-to-peer lending, asuransi dan wealth management. Oleh karenanya pada posisi ini keterhubungan antara bank dan lembaga keuangan digital dianggap penting untuk menjamin fungsi bank sentral dalam pengawasan peredaran uang.

Praktek shadow banking menjadi masalah tersendiri bagi regulator perbankan Tiongkok yang menyatakan telah membuang pinjaman macet sekitar US$ 289,11 miliar (2019) di tengah kampanye nasional untuk membatasi pinjaman berisiko tinggi. Konsekuensi yang dihadirkan dari shadow banking ini telah menekan mata uang yuan sedemikian rupa, karena nilai transaksi yang cukup besar dan dilakukan perbankan tak resmi ini terbilang fantastis. Tidak cukup disini, ironisnya lagi disinyalir praktik shadow banking semakin canggih dan adanya tipu daya perusahaan yang berdomisili di tax haven countries atau negara penggelontor fasilitas perpajakan bagi wajib pajak negara lain supaya penghasilan wajib pajak itu dipindahkan ke negara mereka. Akibat ikutannya timbullah pelambatan ekonomi karena adanya kenaikkan risiko keuangan.

Untuk mengurangi tekanan ekonomi dan masifnya lembaga tekfin maka Bank Indonesia (BI) menginisiasi penajaman sistem pembayaran agar dapat mendorong optimasi pertumbuhan ekonomi dan keuangan digital. Artinya, perkembangan teknologi digital sudah masuk begitu dalam dibanyak aspek ekonomi masyarakat. Untuknya otoritas moneter perlu beraksi, dengan ide inovasi melalui tranformasi pembayaran dalam perekonomian sebagai bentuk respon nyata. Untuk itu BI perlu memperbaharui sistem pembayaran dengan Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025.

Ringkasnya Visi Sistem Pembayaran ini mengusung lima visi penting. Pertama, mendukung integrasi ekonomi-keuangan digital nasional yang menjamin fungsi bank sentral dalam proses peredaran uang, kebijakan moneter, dan stabilitas sistem keuangan, serta mendukung inklusi keuangan. Kedua, mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi-keuangan digital melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan. Ketiga, menjamin interlink antara tekfin dengan perbankan untuk menggurangi timbulnya risiko shadow banking. Keempat, menjamin keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan konsumen, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha sehat. Kelima, menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital antar negara, dengan memperhatikan prinsip resiprokalitas.

Pengejawantahan dari Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 diatas, pada prinsipnya adalah mereduksi tantangan tentang risiko cyber, proteksi data, risiko sistemik, dan maraknya praktik shadow-banking Terkait hal ini, maka penguatan regulasi menjadi penting dalam tahap ini, termasuk keterbukaan ekonomi yang harus tetap mengedepankan prinsip kepentingan negara. Mengurangi shadow banking perlu interlink antara lembaga tekfin dan perbankan/ lembaga keuangan resmi. Antisipasi lain, BI juga sudah membuat Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan juga QR Code Indonesia Standard (QRIS) yang bisa menjadi platform integrasi untuk dimanfaatkan tekfin.

Perkembangan digitalisasi yang menciptakan inovasi dan efisiensi namun menimbulkan risiko, terutama pemanfaatan data nasabah. Jika ini dibiarkan saja akan menimbulkan konsentrasi dan menuju kearah monopoli. Jika data itu bisa dikelola maka bisa mengurangi risiko timbulnya konsentrasi penguasaan usaha dan penggunaan data granular oleh perusahaan raksasa (big tech) menjadi fokus bank sentral. Karena jika keberadaannya mengurita di sektor keuangan akan bisa menginterupsi persaingan usaha sehat. Makna makroekonominya adalah waspada dampak negatif penetrasi shadow banking oleh pengusaha besar keuangan digital yang menganggu stabilitas sistem keuangan.

Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 membutuhkan dukungan dan kolaborasi dengan industri keuangan dan teknologi informasi. Jika kelima butir visi diatas bisa dijalankan maka kasus dimana lembaga tekfin pinjaman p2p terbatasi ruang geraknya untuk tidak menjadi shadow banking atau menyaru menjadi lembaga keuangan digital yang menawarkan investasi ilegal dalam rupa skema Ponzi atau investasi tipu-tipu. Terkait data pribadi, jelas bahwa peruntukkannya tidak disalahgunanakan dan kedepan perlu hadir regulasi perundang-undang data pribadi yang melindungi data konsumen. Harmonisasi antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap harus dikedepankan, karena tekfin sistem pembayaran dikomandani oleh BI dan tekfin pinjaman p2p berada di OJK. Akhirnya muaranya pada inklusi keuangan di masyarakat perlu ditingkatkan, karena secara keseluruhan kita masih memiliki masalah dengan tingkat literasi keuangan.


=============
*Adhitya Wardhono, SE, MSi, MSc, PhD adalah dosen dan peneliti Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly)-Universitas Jember.

Artikel ini pernah di muat di Radar jember pada tanggal 18 Maret 2020.

Skip to content