[:id]Negara Harus Hadir Dalam Sertifikasi Halal[:]

[:id][vc_row][vc_column][vc_column_text]

Jember, 8 Juni 2018

Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, maka semua produk makanan, obat, dan kosmetika di Indonesia wajib mendapatkan sertifikasi halal. Permasalahannya kemudian, sertifikasi membutuhkan biaya, lantas bagaimana dengan kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki modal terbatas ? Menurut Dr. H. Ikhsan Abdullah, maka negara wajib hadir membantu pelaku UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal. Pendapat ini disampaikan oleh Dr. H. Ikhsan Abdullah, saat mempertahankan disertasinya berjudul Tanggungjawab Negara Terhadap Kewajiban Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum Indonesia, di hadapan penguji di gedung Serbaguna Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember (7/6).

Menurut Dr. H. Ikhsan Abdullah, pemerintah dapat mencontoh langkah yang dilakukan beberapa negara dalam permasalahan biaya sertifikasi halal. “Misalnya pemerintah Korea Selatan memberikan subsidi senilai 80 juta rupiah untuk membantu sertifikasi halal bagi UMKM, begitu pula dengan pemerintah Taiwan yang memberikan bantuan senilai 44 juta rupiah,” ujar promovendus yang juga aktif di Komisi Hukum MUI Pusat ini. Dr. H. Ikhsan Abdullah menambahkan, permasalahan sertifikasi hanyalah sekian banyak dari implikasi penerapan Undang-Undang nomor 33 tahun 2014. Permasalahan lain yang perlu segera diselesaikan pemerintah adalah pembuatan peraturan pemerintah, pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), dan lainnya.

Namun di sisi lain, Dr. Ikhsan Abdullah mendukung terbitnya Undang-Undang nomor 33 tentang jaminan produk halal yang dikeluarkan pemerintah, pasalnya kebutuhan akan kejelasan produk halal tidak hanya berguna bagi kaum Muslim, namun juga bagi kalangan non muslim. “Saat ini halal adalah trend global, bahkan sudah menjadi life style. Dengan adanya Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal maka menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang mewajibkan sertifikasi halal,” imbuh pria yang juga berprofesi sebagai dosen dan pengusaha ini.

Dalam sesi tanya jawab, Prof. Dr. Thohir Luth, guru besar hukum Islam dari FH Universitas Brawijaya meminta pendapat promovendus terkait masih adanya pendapat sebagian orang yang menilai  terbitnya Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 menutup peluang bagi produk non halal. Menanggapi pertanyaan ini, Dr. Ikhsan Abdullah menegaskan bahwa Undang-Undang nomor 33 mewajibkan sertifikasi halal, bukan mewajibkan produk halal. “Jadi jangan khawatir, produk non halal tetap boleh ada di pasaran Indonesia, namun bagi produk halal harus memiliki sertifikasi halal,” jelas Dr. H. Ikhsan Abdullah yang merupakan alumnus FH Universitas Jember ini.

Selain menghadirkan penguji Prof. Dr. Thohir Luth, penguji eksternal yang hadir adalah Prof. Dr. Dedi Ismatullah dari UIN Sunan Gunung Jati. Sementara penguji internal adalah Prof. Dr. Herowati Pusoko, Prof. Dr. Dominikus Rato, dan Prof. Dr. Abintoro Prakoso, serta Dr. Aries Heryanto. Sidang dipimpin langsung oleh Dr. Nurul Ghufron, Dekan FH Universitas Jember. Untuk diketahui  Dr. H. Ikhsan Abdullah adalah doktor ketiga yang diluluskan dari Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember, dengan promotor Prof. Dr. M. Khoidin dan co-promotor, Prof. Dr. Halim Subahar. (iim)

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][:]

Skip to content