Selalu ada kisah dibalik sebuah pencapaian besar. Termasuk juga setiap kali pengukuhan guru besar selalu membawa kisah tersendiri. Begitu pula dengan dua profesor Universitas Jember yang baru saja dikukuhkan pada hari Rabu lalu (23/8). Keduanya adalah Prof. Dr. I Ketut Mastika, MM., sebagai guru besar bidang Ilmu Manajemen Pariwisata di Program Studi Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Dan yang kedua adalah Prof. Dr. Sumani, SE., M.Si., CRA., sebagai guru besar bidang Ilmu Manajemen Strategis di Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).
Jadi Profesor, Makin Religius
Bagaimana tidak, pada saat dirinya tengah menggarap disertasi bertema pariwisata, sang istri divonis menderita kanker rahim oleh dokter. Tentu saja kabar ini bak petir di siang bolong bagi Pak Ketut sekeluarga. Apalagi sebelumnya sudah ada dua orang di keluarga besarnya yang meninggal gegara menderita sakit kanker rahim.
“Saya lantas memutuskan untuk mengajak istri ke Denpasar menemani saya melakukan penelitian. Sebenarnya tujuannya menemani istri bertemu keluarga dan handai tolan sekaligus mendekatkan diri kepada-Nya. Pokoknya saat itu yang ada di benak saya adalah bagaimana membahagiakan istri,” ujar Pak Ketut mengenang masa-masa sulit kala menggarap disertasi.
Selama penelitian pun banyak suka duka yang dirasakan Pak Ketut. Salah satunya setelah mengunjungi sebuah destinasi wisata di dekat Denpasar, hujan lebat turun sehingga membuatnya ragu untuk pulang. Namun bayangan wajah sang istri yang tengah menunggu di rumah membuatnya memutuskan untuk nekad pulang walau harus melewati jalur yang lebih panjang daripada biasanya. Syukurlah Pak Ketut tiba di rumah dengan selamat. “Begitu tiba di rumah, saya ditelpon kawan yang mengabarkan jalan yang baru saja saya lewati longsor dan membawa korban,” katanya.
Ternyata tekad dan perjuangan yang ditampilkan Pak Ketut menular kepada sang istri. Sambil menggarap disertasi, dirinya menemani sang istri menjalani kemoterapi di sebuah rumah sakit di Surabaya. “Mungkin melihat saya yang tekun menulis disertasi membuat istri saya turut bersemangat untuk sembuh, dan syukurlah akhirnya dia sembuh. Setiap kali melihat saya bersemangat maka dia turut bersemangat juga,” ungkapnya dengan penuh syukur.
Perjuangan juga ditampilkan kala dirinya mengajukan jabatan guru besar ke Ditjen Dikti Kemendikbudristek. Berkali-kali dirinya harus memperbaiki dan melengkapi berkas, termasuk kewajiban menulis lagi karya tulis ilmiah yang harus dimuat di jurnal terakreditasi. “Justru di saat saya memasrahkan diri maka saya merasakan pertolongan Tuhan datang, sehingga akhirnya SK Guru Besar saya dapatkan,” tuturnya lagi.
Semua pengalaman tadi membuat Pak Ketut dan keluarganya mendapatkan banyak pelajaran berharga, terutama bagaimana harus makin mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa. “Saya merasakan justru saat di Jember inilah kuantitas dan kualitas ibadah saya makin baik, saya makin rajin ke pura. Bahkan memutuskan tinggal di dekat pura Agung Amertha Asri, Patrang, Jember. Oleh karena itu saya sudah bertekad akan mengabdikan sisa usia dengan berbakti mengurusi pura saja daripada pulang ke kampung halaman di Negara, Jembrana, Bali,” pungkasnya.
Penggembala Kambing Yang jadi Profesor
“Saya tak pernah membayangkan jadi profesor, bahkan jadi dosen pun tidak,” kata Prof. Dr. Sumani, SE., M.Si., CRA., memulai kisahnya menggapai jabatan guru besar. Sambil mengenang masa kecilnya di Desa Prigi, Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Sumani kecil hidup dalam kesederhanaan bersama kedua orang tunya, pasangan alm. Musadi dan Saimah yang berprofesi guru SD dan ibu rumah tangga.
Menurutnya sebagai bocah ndeso, tugas menggembalakan kambing dan turun ke sawah atau kebun adalah hal rutin. Walaupun sang bapak adalah guru SD, namun jangan dibayangkan kondisi ekonomi keluarganya berkecukupan. Bahkan Sumani kerap membantu sang Ibu membawa hasil bumi untuk dijual di pasar setempat. Namun keterbatasan ini tak lantas membuat anak ketiga dari empat bersaudara jadi patah arang menggapai cita-cita melalui jalan pendidikan.
Ternyata prestasi Sumani moncer, sehingga kuliah dapat diselesaikannya dengan prestasi akademik yang bagus. Selepas lulus, Sumani diterima di sebuah perusahaan di wilayah Pasuruan, namun setelah bekerja selama setahun pikiran pindah pekerjaan mulai muncul. Maka Sumani pun berkunjung ke kampusnya untuk meminta legalisir ijazah. Ketika mengunjungi kembali kampusnya inilah Sumani melihat lowongan kerja sebagai dosen di almamaternya.“Saya lalu bergegas pulang ke Trenggalek meminta pendapat dan restu dari orang tua. Ternyata Bapak pun setuju jika saya jadi dosen,” tuturnya. Maka jadilah Sumani menjadi dosen di Universitas Widya Gama Malang. Menjadi dosen artinya dituntut untuk selalu mengembangkan diri, termasuk harus melanjutkan studi.
Maka berangkatlah Sumani mengambil studi magister bahkan hingga doktor ke Universitas Airlangga di periode tahun 90-an. Rupanya di jenjang S-2 dan S-3 pun prestasinya terus bersinar terbukti dengan perolehan beasiswa dan lulus dengan nilai yang baik. Masa studi di Universitas Airlangga inilah yang mempertemukannya dengan teman kuliah yang merupakan dosen di FEB Universitas Jember.
“Saat kuliah inilah saya berteman akrab dengan almarhum Pak Sarwedi dan Pak Shaleh, yang kelak juga menjadi profesor pula. Lulus dari pendidikan S-3 saya mendapatkan informasi dari beliau ada pendaftaran CPNS dosen di Universitas Jember. Maka saya pulang ke Trenggalek untuk meminta restu orang tua. Alhamdulillah saya diterima dan semenjak tahun 2005 menjadi dosen di FEB Universitas Jember,” kenangnya.
Menyandang gelar profesor bagi Sumani tentu sebuah kebanggaan besar tetapi juga menyiratkan tanggungjawab yang besar pula. Menjadi guru besar artinya harus lebih rajin berkarya, harus jadi contoh yang baik dan selalu menjaga tingkah laku. “Pencapaian ini saya persembahkan bagi orang tua, mereka lah yang berjasa mengantarkan saya hingga seperti saat ini. Kadang hingga kini saya masih belum percaya, bocah angon wedhus bisa jadi profesor, tentu berkat doa restu orang tua,” pungkas Prof. Sumani. (iim)