Jember, 10 Agustus 2020
Pandemi Covid-19 mempengaruhi banyak sendi kehidupan, dari mereka yang hidup di kota besar hingga penduduk di pelosok gunung yang terpencil, tak terkecuali mempengaruhi kehidupan masyarakat pribumi atau masyarakat adat (indigenous people). Ternyata banyak masyarakat pribumi di belahan dunia yang mampu survive dari pandemi Covid-19 dengan menjalankan kearifan lokal yang dimilikinya. Namun peran dan intervensi negara tetap diperlukan untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat pribumi. Kesimpulan tersebut mengemuka dalam kegiatan webinar internasional bertema “Indigenous People in Covid-19 Era” yang digelar oleh FISIP Universitas Jember, bekerjasama dengan Regional Center of Expertise on Education for Sustainable Development (RCE ESD) Asia Pasifik, dan United Nations University (10/8).
Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat pribumi dipaparkan oleh duet peneliti asal Selandia Baru, Betsan Martin dan Makarena Phillips yang mengamati masyarakat Maori dalam menghadapi pandemi Covid-19. “Masyarakat Maori memiliki tradisi dimana muda-mudi yang berusia di atas 18 tahun memiliki kewajiban memberikan bantuan kepada warga Maori lainnya, semisal para lansia. Para pemuda dan pemudi ini yang kemudian menjadi semacam sukarelawan yang membantu warga lain menyediakan makanan dan bantuan lainnya di masa pandemi Covid-19 di kalangan warga Maori Selandia Baru,” tutur Makarena Phillips yang asli suku Maori ini.
Pemateri selanjutnya, Martinus Nanang memaparkan kondisi masyarakat Dayak di daerah Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Dalam observasinya dia hanya menemukan hanya satu kasus positif Covid-19 dari 1.426 jiwa yang ada. “Kondisi ini tidak lepas dari peran tetua suku dan tokoh setempat yang menghimbau warga agar tidak ke luar daerahnya, sekaligus melarang tamu yang akan datang untuk sementara waktu. Larangan ini diperkuat dengan tradisi ritual yang secara mental spiritual mengikat warga Dayak sehingga dipatuhi. Namun situasi ini juga didukung oleh kondisi alam Mahakam Ulu yang masih susah diakses, sehingga arus keluar masuk orang tidak terlalu banyak,” ujar peneliti asal Universitas Mulawarman ini.
Selain menghadapi dampak kesehatan, masyarakat pribumi juga mengalami dampak ekonomi, seperti yang disampaikan oleh Anchasa Pramuanjaroenkij, peneliti dari Kasetsart University yang meneliti kehidupan enam suku pribumi di provinsi Sakon Nakhon, Thailand. “Kami melakukan pemberdayaan ekonomi dengan cara mendorong warga pribumi membuat masker dari kain yang mereka tenun dengan pewarna biru indigo organik. Langkah ini kami ambil mengingat tak ada wisatawan yang datang, sementara menjual hasil produk hasil tenun ke luar daerah masih belum dimungkinkan,” tutur Anchasa Pramuanjaroenkij.
Sementara itu keberpihakan negara disampaikan langsung oleh Juliari P. Batubara, Menteri Sosial RI yang turut menjadi salah satu pemateri. Menurutnya, Kementerian Sosial RI telah memberikan bantuan dan pendampingan bagi masyarakat adat di Indonesia dalam rangka mencegah pandemi Covid-19 melalui Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. “Salah satunya memberikan bantuan berupa uang dan pemberian KTP sementara bagi warga Orang Rimba di Jambi agar mereka bisa mengakses fasilitas kesehatan yang ada,” kata Juliari P. Batubara.
Kegiatan webinar internasional ini menampilkan 13 pembicara dan menghadirkan enam pembicara kunci. Mereka berasal dari Selandia Baru, Thailand, Bangladesh, India, Korea Selatan, Filipina, Malaysia, Jepang, tuan rumah Indonesia dan negara lainnya. Dalam sambutan pembukaannya, Rektor Universitas Jember berharap kegiatan webinar mampu memberikan rekomendasi dan perspektif baru dalam penanganan pandemi Covid-19, apalagi kawasan Asia memiliki jumlah masyarakat pribumi yang banyak. “Masyarakat pribumi masih mengalami kendala seperti minimnya akses ke fasilitas kesehatan, buruknya sanitasi, malnutrisi serta faktor lainnya. Oleh karena itu kalangan cendekiawan harus membantu, sementara negara wajib hadir dengan tetap memperhatikan kearifan lokal yang mereka miliki,” jelas Iwan Taruna. (iim)