Jember, 24 Februari 2021
Pemerintah RI perlu menegaskan ulang (reafirmasi) sikapnya terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Myanmar. Penegasan sikap RI terhadap masalah Myanmar ini sebaiknya disampaikan langsung oleh pejabat tinggi negara, seperti Menteri Luar Negeri. Adanya penegasan ulang ini diharapkan dapat mengubah pendapat dan pandangan sebagian pihak di Myanmar yang beranggapan Indonesia mendukung keberadaan junta militer yang saat ini menguasai pemerintahan Myanmar. Pendapat ini disampaikan Agus Trihartono, Ph.D, pengajar di Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember saat berdiskusi mengenai permasalahan Myanmar di ruang Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) di kampus Universitas Jember (24/2).
Menurut Agus Trihartono, pemerintah RI pada prinsipnya sudah menyatakan menolak kudeta dan mengharapkan tidak ada pertumpahan darah di Myanmar, serta mendukung penyelesaian masalah melalui proses hukum. Prinsip tersebut sudah dikomunikasikan kepada junta militer, baik oleh Indonesia maupun melalui forum ASEAN. “Tetapi perlu diketahui, pada tataran diplomasi dan negoisasi antar negara, Indonesia memilih tidak lantas serta merta menghakimi lawan negoisasi agar maksud dan tujuan negoisasi dapat tercapai. Apalagi di kalangan internal ASEAN ada kesepakatan untuk tidak saling mencampuri urusan dalam negeri anggotanya secara langsung,” jelas Agus Trihartono.
Namun sikap tersebut dipandang warga Myanmar, terutama para pegiat demokrasinya sebagai bentuk dukungan kepada junta militer. Oleh karena itu dirinya mengusulkan penegasan ulang sikap RI oleh pejabat tinggi negara, dibarengi dengan membangun relasi dan komunikasi yang intens di tingkat akar rumput di Myanmar, khususnya dengan para pegiat demokrasi. Relasi dan komunikasi di tingkat akar rumput ini bisa dilakukan oleh para pegiat LSM, dosen dan kalangan lainnya di Indonesia. Dengan kata lain harus ada orang di level kedua yang menjelaskan posisi Indonesia kepada koleganya di Myanmar.
“Saya banyak mendapatkan WA dan email dari kolega di Myanmar yang merasa kecewa dengan sikap Indonesia, bahkan Kedubes RI di Myanmar sempat didemo. Mereka menyatakan tidak percaya lagi dengan Indonesia. Dan yang saya lakukan adalah menjelaskan kepada mereka prinsip Indonesia yang tidak setuju kudeta, mengharapkan tidak ada pertumpahan darah di Myanmar, serta mendukung penyelesaian masalah melalui proses hukum. Indonesia dan ASEAN sudah dan terus melakukan usaha pendekatan kepada junta militer,” ujar dosen yang pada tahun 2016, 2017 dan 2019 sempat mengunjungi Myanmar.
Di lain sisi, lulusan Ritsumeikan University, Jepang, ini memaklumi kekecewaan sebagian koleganya dan warga Myanmar. Pasalnya pegiat demokrasi, LSM, warga, serta kolega dosen dan peneliti di Myanmar menjadikan Indonesia sebagai contoh bagaimana peralihan tongkat kekuasaan dari militer ke sipil seharusnya berjalan. Tidak heran jika banyak diantara mereka yang berharap junta militer Myanmar akan menjadikan kasus Indonesia sebagai panduan dalam menjalankan proses demokrasi. “Pemerintah kita masih dipandang, didengar dan dihormati oleh banyak kalangan di Myanmar, oleh karena itu permasalahan Myamnar harus mendapatkan perhatian serius pemerintah Indonesia agar diplomasi dan soft power kita tetap terjaga di wilayah Asia Tenggara,” pungkas Agus Trihartono. (iim)