Gastrodiplomasi, Bentuk Diplomasi Yang Out of Box

Jember, 6 Juni 2020
Gastrodiplomasi, diplomasi melalui makanan atau tata boga diyakini menjadi salah satu bentuk diplomasi khususnya soft diplomacy yang efektif dalam menjalin hubungan baik antar negara. Pernyataan ini disampaikan oleh Tantowi Yahya, Duta Besar RI untuk Selandia Baru, Samoa, dan Tonga dalam webinar bertema “Gastrodiplomasi:Membangun Citra Bangsa Melalui Promosi Kuliner” yang digelar oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Jember bekerjasama dengan Keluarga Alumni Universitas Jember (Kauje) hari Sabtu (6/6). Bahkan menurut Tantowi Yahya, gastrodiplomasi adalah bentuk diplomasi yang out of box.


Pria yang juga dikenal dulunya sebagai presenter ini lantas menceritakan kegiatan gastrodiplomasi yang digelar oleh KBRI di Selandia Baru. “Kami pernah menggelar festival makanan Indonesia di Samoa, salah satu negara di kawasan samudera Pasifik yang menjadi salah satu wilayah kerja kami. Festival menampilkan makanan khas Indonesia seperti gethuk lindri, lupis hingga gudeg. Sengaja kami menampilkan makanan yang bahan bakunya ada di Samoa. Ternyata sambutan pemerintah dan masyarakat Samoa sangat positif, salah satunya karena umumnya masyarakat Samoa dan negara di kawasan samudera Pasifik sudah tak asing lagi dengan bahan makanan yang kita sajikan seperti singkong, talas adan sayur mayurnya. Kegiatan ini memberikan pengalaman baru bagi mereka,” tutur Tantowi Yahya.
Samoa dan negara-negara di kawasan samudera Pasifik menjadi perhatian KBRI di Selandia Baru mengingat beberapa kelompok dan organisasi di sana mendukung keberadaan Organisasi Papua Merdeka. “Bagi saya dalam menjalankan diplomasi, jika sudah mendapatkan penerimaan yang baik maka itu artinya lima puluh persen tugas kita sudah terpenuhi, tinggal bagaimana kemudian menyampaikan pesan-pesan kita selanjutnya. Dalam kasus negara-negara di samudera Pasifik, bagaimana mereka mengakui integritas NKRI termasuk Papua sebagai bagian integralnya. Melalui gastrodiplomasi pemahaman ini dibangun, ibaratnya melalui lidah yang kemudian turun ke hati. Gastrodiplomasi sama efektifnya seperti bentuk soft diplomacy lainnya seperti science diplomacy dan help diplomacy,” ungkap Tantowi Yahya.
Duta besar yang piawai bernyanyi ini lantas memberika contoh bentuk gastrodiplomasi lainnya. “Kami mengundang korps diplomat, pengusaha, akademisi dan tokoh di Wellington. Kami sajikan makanan khas Indonesia seperti sup buntut sebagai makanan utamanya. Bahannya dari sapi Selandia Baru yang kualitasnya sudah tidak diragukan lagi, tapi bahan lainnya dan cara pengolahan tetap ala Indonesia. Ternyata banyak yang suka, mereka tidak mengira jika buntut sapi Selandia Baru ternyata dapat diolah menjadi masakan yang nikmat. Sebab umumnya warga Selandia Baru jarang mengkonsumsi buntut sapi,” kata Tantowi Yahya yang tak asing dengan bidang gastronomi karena lulusan sebuah sekolah tinggi perhotelan ini.
Selain rutin menggelar acara festival makanan Indonesia, KBRI di Selandia baru juga melakukan promosi makanan Indonesia termasuk gencar memperkenalkan kopi Indonesia, dan mendorong diaspora Indonesia di Selandia Baru untuk membuka usaha restoran Indonesia. “Menurut saya ada empat keuntungan melaksanakan gastrodilomasi, yakni meningkatkan kesadaran akan Indonesia melalui makanan. Membuka lapangan kerja baru misalnya usaha restoran Indonesia atau usaha ekspor bahan makanan khas Indonesia. Meningkatkan angka kunjungan turis ke Indonesia, dan alat diplomasi yang out of box,” kata Tantowi Yahya.
Pembicara kedua adalah Agus Trihartono, dosen Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember. Menurutnya Indonesia harus memanfaatkan gastrodiplomasi mengingat Indonesia banyak memiliki potensi makanan khas, yang layak ditampilkan di tingkat internasional. Agus Trihartono menjelaskan ada dua bentuk gastrodiplomasi, pertama high culture food seperti yang sudah dilakukan oleh KBRI yang mewakili negara Indonesia dan sarat akan identitas nasional. Kedua low culture food, yang umumnya dilakukan oleh aktor non negara, yang lebih banyak memperkenalkan aneka ragam makanan khas suatu negara sebagai sebuah pengetahuan dan pengalaman baru. “Gastrodiplomasi patut dikembangkan sebagai bagian dari soft diplomacy karena tidak sekedar menampilkan makanan saja, tapi ada identitas budaya di baliknya yang menarik bagi masyarakat internasional,” jelas Agus Trihartono.


Oleh karena itu peneliti gastrodiplomasi ini menganjurkan agar pemerintah Indonesia memadukan peran aktor negara dan aktor non negara dalam menjalankan gastrodiplomasi Indonesia. Aktor negara diperankan oleh Kemenlu, Kemenpar dan lembaga pemerintah lainnya, sementara aktor non negara diantaranya adalah pengusaha dan potensi 7,8 juta orang diaspora Indonesia di seluruh dunia. “Tantangan dan peluang gastrodiplomasi kita adalah memiliki banyak jenis makanan, misalnya saja ada 64 macam soto dari soto Bandung hingga Coto Makkasar, tetapi juga menjadi tantangan sebab kita lantas akan fokus pada makanan apa? Kedua harus ada identifikasi, menjaga dan merawat makanan Indonesia sebab ada makanan kita yang mulai diaku oleh negara lain. Ketiga harus memperkuat kerjasama antar lembaga dan aktor non negara dalam mengembangkan gastrodiplomasi Indonesia,” imbuh Agus Trihartono.


Webinar juga menampilkan pembicara Rendra Wirawan, pelaku usaha UMKM makanan khas Jember dengan dimoderatori oleh Eko Wahyu Tawantoro, jurnalis Kompas TV.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Iwan Taruna, Rektor Universitas Jember, yang dalam sambutannya mendukung Universitas Jember sebagai pusat kajian gastrodiplomasi di Indonesia, mengingat kajian ini belum banyak dikembangkan. Sementara itu dalam penjelasannya, M. Sarmuji, Ketua Umum Kauje, berharap webinar dengan tema gastrodiplomasi akan memperkokoh posisi Universitas Jember sebagai perguruan tinggi yang memberikan perhatian pada pengembangan pangan. “Webinar akan dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tema-tema menarik lainnya,” pungkas M. Sarmuji. (iim).

Skip to content