Universitas Jember Kukuhkan Tiga Guru Besar

Jember, 26 November 2021
Universitas Jember mengukuhkan tiga orang guru besar barunya pada hari Sabtu 27 November 2021 secara luring terbatas di gedung auditorium dan daring. Mereka adalah Prof. Dr. Hairus Salikin, M.Ed., guru besar Linguistik Terapan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), serta dua guru besar dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yakni Prof. Dr. Budi Setyono, MA., guru besar Pendidikan Bahasa Inggris, dan Prof. Dr. A.T. Hendra Wijaya., M.Kes., guru besar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Tambahan tiga guru besar ini menjadikan Universitas Jember kini memiliki 53 guru besar.

Guru besar pertama yang dikukuhkan adalah Prof. Hairus Salikin dengan judul orasi “Sekilas Bahasa Daerah di Indonesia. Harapan Dalam Keterbatasan”. Dalam orasinya Prof. Hairus Salikin menyoroti bahasa daerah di Indonesia yang kini makin terpinggirkan bahkan ada yang menuju kepunahan. Jika sebuah bahasa punah, maka mati juga lah sebuah budaya. Pasalnya antara bahasa dan budaya bak dua mata uang yang tak terpisahkan. Jika sebuah budaya hilang dari nusantara maka adalah sebuah kerugian besar bagi Indonesia bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Prof. Hairus Salikin lantas menunjukkan laporan yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek tahun 2020, yang menunjukkan selama tahun 2011 hingga 2019 ada 11 bahasa daerah di Indonesia yang punah. Sementara di Provinsi Maluku ada 62 bahasa daerah yang menuju kepunahan. Penutur bahasa daerah tersebut umumnya sudah berusia lanjut sehingga bisa dipastikan jika tidak ada regenerasi penutur dan langkah pelestarian maka bahasa-bahasa daerah tersebut bakal mati juga. Untuk diketahui, Indonesia adalah negara nomor dua setelah Papua Nugini yang memiliki jumlah bahasa daerah terbanyak di dunia, dengan jumlah 742 bahasa daerah.

“Salah satu penyebabnya adalah makin sedikit orang yang menggunakan sebuah bahasa daerah, sebagai contoh makin banyak keluarga di Indonesia yang lebih memilih berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dengan anak-anaknya daripada menggunakan bahasa ibu. Kedua, perkawinan campuran dimana antara ayah dan ibu berasal dari suku berbeda sehingga lebih memilih Bahasa Indonesia, dan yang ketiga pengaruh globalisasi dimana kemampuan menguasai bahasa asing seperti Bahasa Inggris lebih mengemuka dibandingkan kemampuan menguasai bahasa daerah,” jelas Prof. Hairus Salikin.

Dosen yang juga dikenal sebagai ustadz ini kemudian menganjurkan agar setiap keluarga di Indonesia seyogyanya tetap menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan anak-anaknya sedini mungkin. Sebab dalam kajian linguistik terapan ada masa yang dikenal sebagai masa critical period hypothesis, masa emas dimana seorang anak mampu menyerap bahasa apapun yang didengarnya. Masa critical period hypothesis ini ada pada saat anak berusia di bawah 15 tahun. Apalagi bahasa daerah di Indonesia umumnya juga mengandung muatan sopan santun dan kearifan lokal. Sementara kemampuan berbahasa Indonesia akan diperoleh dan berkembang saat anak-anak nanti bersekolah, dengan demikian eksistensi bahasa daerah tetap lestari.

“Untuk melestarikan bahasa daerah di Indonesia maka perlu kerjasama semua pihak, misalnya dunia perguruan tinggi dengan riset dan pengabdian masyarakatnya. Sementara pemerintah daerah melalui kebijakan-kebijakannya seperti keharusan pemakaian bahasa daerah dan pakaian daerah di hari tertentu dalam setiap pekannya. Makin maraknya konten kreatif seperti lagu dan film dengan menggunakan bahasa daerah juga menjadi salah satu cara melestarikan bahasa daerah,” pungkas Prof. Hairus Salikin.

Kesempatan kedua untuk menyampaikan orasi ilmiah diberikan kepada Prof. Budi Setyono, guru besar Pendidikan Bahasa Inggris FKIP dengan orasinya berjudul “Peran Bahan Ajar Bahasa Inggris Berbasis Multikultural Untuk Membangun Kompetensi Komunikatif Lintas Budaya”. Menurutnya ada tiga alasan mengapa bahan ajar Bahasa Inggris berbasis multikultural penting saat ini. Pertama bahan ajar yang bermuatan nilai-nilai multikultural sangat dibutuhkan dalam memberikan stimulasi kepada pembelajar Bahasa Inggris akan arti pentingnya kesadaran lintas budaya (intercultural awareness) ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya. Kedua, posisi Bahasa Inggris kini menjadi bahasa yang paling banyak digunakan sebagai alat komunikasi antar bangsa.

“Ketiga, menyongsong Indonesia Emas pada tahun 2045 maka Indonesia akan menikmati bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktifnya mencapai 70 persen yang diharapkan mampu berperan di panggung dunia. Generasi produktif ini harus menjadi komunikator handal yang mampu berkomunikasi lintas budaya, mampu berinteraksi, bernegosiasi, berdebat dan meyakinkan mitra kerjasama Indonesia di berbagai bidang,” kata Prof. Budi Setyono yang juga kawan seangkatan Prof. Hairus Salikin kala kuliah sarjana dulu di Program Studi Sastra Inggris Universitas Jember.

Untuk itu Prof. Budi Setyono menganjurkan para guru Bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA agar kreatif dalam mengemas pelajaran Bahasa Inggris untuk siswanya. Guru bisa memasukkan tema-tema konkrit seperti nilai-nilai keluarga, gaya hidup termasuk aspek budaya dari berbagai negara sehingga siswa mendapatkan pemahaman akan penghormatan kepada kelompok etnis lain, pemeluk agama yang berbeda, serta apresiasi terhadap budaya lain untuk menciptakan perdamaian dunia.

“Buku pelajaran Bahasa Inggris yang ada untuk siswa SMP dan SMA sebenarnya sudah banyak memuat mengenai nilai-nilai multikultural, tinggal bagaimana guru menyampaikannya kepada siswa. Misalnya pada tema introduction atau pengenalan, guru bisa menambahkan bagaimana budaya orang Inggris mengenalkan diri atau justru budaya orang Indonesia saat memperkenalkan diri. Penggunaan materi audio visual juga bakal mendukung pemahaman siswa akan multikultiralisme, misalnya membahas lagu Heal the World milik mendiang Michael Jackson yang isinya bagaimana menciptakan perdamaian dunia,” ujar guru besar asal Banyuwangi ini.

Orasi guru besar ketiga berjudul “Fleksibilitas Manajemen Pendidikan Non Formal Untuk Merdeka Belajar” yang disampaikan guru besar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah FKIP, Prof. A.T. Hendra Wijaya. Dalam pemaparannya, Prof. A.T. Hendra Wijaya menjelaskan jika hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan pada kenyataan masih ada warganya yang belum mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun. Oleh karena itu pendidikan non formal masih dibutuhkan agar tujuan pendidikan dasar yang berkualitas bagi semua warga Indonesia dapat terwujud.

“Namun perlu diingat, peserta dan manajemen pendidikan non formal seperti Kejar Paket A, B hingga C memiliki perbedaan mendasar dengan pendidikan formal seperti SD, SMP dan SMA. Misalnya saja dari perbedaan usia peserta didik yang dalam satu kelas bisa beragam dengan latar belakang yang juga bervariasi. Mulai peserta usia remaja, dewasa hingga orang tua, dari yang petani hingga pedagang oleh karena itu tak heran jika seorang tutor atau pamong harus mampu ngemong dan memahami warga belajarnya,” tutur Prof. A.T. Hendra Wijaya.

Menghadapi warga belajar yang berasal dari berbagai latar belakang tersebut maka Prof. A.T. Hendra Wijaya mengharapkan pamong selalu berpegang pada prinsip ULTRA, yakni Ulet, Tabah dan Terampil. Harus ulet sebab proses belajar mengajar pada pendidikan non formal justru banyak mengikuti waktu dari warga belajar. Tabah sebab dengan warga belajar yang berasal dari beragam latar belakang maka pamong dituntut memahami keterbatasan warga belajar baik dari sisi waktu maupun sisi intelektualitas. Serta Terampil mengemas proses belajar mengajar dengan cara kreatif agar warga belajar bersemangat mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Di sisi manajemen, Prof. A.T. Hendra Wijaya berpendapat manajemen pendidikan non formal harus didasarkan atas prinsip fleksibel atau luwes, kebermaknaan, dan kedinamisan dengan memperhatikan asas pendidikan sepanjang hayat (life-long education), asas belajar sepanjang hayat(life-long learning), dan aktivitas yang bertahap serta berkelanjutan. Pada tahapan perencanaan maka ada empat hal yang harus dilakukan pendataan kebutuhan dan sumber daya pendukung, menyusun prioritas kebutuhan, menyusun program serta menyusun program kerja tahunan satuan pendidikan non formal.

“Dan yang terpenting pada tahapan penggerakan maka pamong harus mampu memberikan motivasi kepada warga belajar, sebab kadang mereka belum paham apa pentingnya pendidikan dasar. Oleh karena itu kegiatan magang dan terjun di lapangan bagi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Luar Sekolah atau yang kini disebut Pendidikan Non Formal menjadi keharusan agar para calon pamong ini paham kondisi lapangan. Dan kesempatan magang bagi mahasiswa sebagai calon pamong ini sekarang terbuka luas di era Merdeka Belajar-Kampus Merdeka,” pungkasnya.

Sementara itu Rektor Universitas Jember menyatakan syukur dan bangga atas pengukuhan bagi tiga profesor baru, pasalnya penambahan guru besar baru ini diharapkan dapat mendorong pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi di Universitas Jember lebih baik lagi. Kedua, keberadaan guru besar baru ini bakal menjadi trigger bagi kolega dosen lainnya untuk turut terpacu berusaha mencapai jabatan fungsional tertinggi bagi dosen. “Namun perlu diingat jabatan guru besar bukanlah akhir tetapi justru awal tahapan baru sebab masyarakat akan menunggu kiprah para guru besar dalam turut menyelesaikan permasalahan yang ada,” pesan Iwan Taruna.

Iwan Taruna lantas menambahkan, Universitas Jember akan terus berusaha memfasilitasi dan mendorong para dosen agar mampu meraih jabatan guru besar. Salah satunya melalui program hibah penelitian dan penulisan jurnal terakreditasi bagi dosen melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) “Saat ini Universitas Jember memiliki 53 guru besar, dimana tiga guru besar masih menunggu waktu untuk dikukuhkan. Dan ada sebelas orang dosen yang pengajuan jabatan guru besarnya masih berproses di Kemendikbudristek,” pungkas Iwan Taruna. (iim)

 

Skip to content