Gedung Integrated Laboratory of Social science UNEJ, 20 Agustus 2022
Pusat Studi Gender menyelenggarakan Sarasehan memperingati 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Sarasehan ini didesain Hybrid, yakni di Universitas Jember dan Platform online via zoom dan live youtube. Peserta yang hadir di lokasi sejumlah 100 orang berasal dari mahasiswa, guru, komunitas seni dan budaya, juga para aktifis perempuan di Jember.
Kemerdekaan dalam perspektif perempuan belum banyak digali, oleh karenanya forum ini berusaha melihat sisi lain dari perayaan kemerdekaan ke 77 ini. Perempuan masih sering ditempatkan sebagai obyek yang bahkan dalam era kemerdekaan ini masih tertindas. Perempuan pelaku ekonomi belum mendapatkan akses seluas yang didapatkan oleh laki-laki. “Tidak ada jenis kelamin dalam penyediaan fasilitas oleh perbankan, namun pemanfaatan jasa perbankan oleh perempuan masih minim” demikian dikatakan salah satu pembicara, Sari Rinenggoasih, dari BNI Cabang Jember. Padahal menurutnya perempuan adalah pelaku ekonomi yang riil di masyarakat, sebagai ibu rumahtangga, perempuan yang mengelola perekonomian keluarga, di luar itu, perempuan pelaku usaha juga terbukti justru bisa bertahan di era Pandemi yang lalu.
Dari sisi budaya, perempuan juga belum memiliki kemerdekaan dalam berekspresi. “perempuan pelaku seni, masih sering menjadi obyek pelecehan dan mengalami kekerasan, oleh karenanya perlu emmbekali diri dengan kekuatan melawan, seperti misalnya dengan belaja silat yangjuga merupakan budaya Indonesia,” demikian ditegaskan oleh Debora, budayawan perempuan yang cukup produktif di Jember.
Dari dimensi politik, keberadaan perempuan juga tidak lebih baik, masalah representasi politik dan minimnya isu dan masalah perempuan yang menjadi prioritas dalam setiap pengambilan kebijakan menjadikan perempuan mengalami opresi. Perempuan berpendidikan rendah, pernikahan dini, kekerasan terhadap perempuan, AKB dan AKI yang masih tinggi dan masalah-masalah lain masih membelenggu perempuan. Linda Dwi Eriyanti, Ketua Pusat Studi Gender menyatakan : “Perempuan perlu memasuki semua ruang, bukan hanya politik formal, tetapi juga politik informal untuk mencapai kemerdekaan. Banyak ruang informal yang bisa dimasuki, mulai dari keluarga, komunitas, lingkungan aktifitas sehari-hari, yang bisa menjadi tempat untuk bernegosiasi, membangun identitas, dan membangun solidaritas untuk melawan penindasan terhadap perempuan”
Sementara itu, Anis Hidayah, pendiri Migrant Care, menyatakan kondisi yang memprihatinkan maish dialami oleh buruh migran yang mayoritas adalah perempuan. “Meskipun banyak produk hukum untuk perlindungan perempuan, Ketika tidak ada komitmen dari semua pihak untuk mengimplementasikannya, kondisi perempuan tidak akan membaik”. Acara berlangsung dengan antusias dari para peserta yang sepanjang diskusi aktif bertanya maupun menyatakan pendapatkan dalam forum sarasehan. (Pusat Studi Gender)