Jember, 23 Agustus 2023
Universitas Jember menambah jumlah guru besarnya setelah senat bersama Rektor Universitas Jember mengukuhkan dua profesor di gedung Auditorium Kampus Tegalboto (23/8). Pertama adalah Prof. Dr. Drs. I Ketut Mastika, MM., sebagai guru besar bidang Ilmu Manajemen Pariwisata di Program Studi Administrasi Bisnis FISIP. Dan yang kedua adalah Prof. Dr. Sumani, SE., M.Si., CRA., sebagai guru besar bidang Ilmu Manajemen Strategis di Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).
Dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Rektor Universitas Jember menyebutkan kedua guru besar yang dikukuhkan hari itu memiliki kesamaan. Yakni, keduanya memiliki fokus pada bidang keberlanjutan (continuity) sebuah usaha. Bedanya, Prof. Dr. I Ketut Mastika, MM., banyak meneliti sisi keberlanjutan sebuah usaha pariwisata. Sementara koleganya, Prof. Dr. Sumani, SE., M.Si., CRA., fokus pada bagaimana strategi yang harus dilaksanakan sebuah entitas bisnis agar eksistensinya berlanjut dan mampu bertahan dalam persaingan bisnis yang makin ketat.
“Seperti sudah ditakdirkan, kedua profesor baru kita ini memiliki minat yang sama walau di bidang yang berbeda. Tambahan dua profesor baru ini saya harapkan akan menjadi sumber inspirasi bagi seluruh komunitas akademik untuk terus mengejar keunggulan dalam bidang ilmiah dan menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan bangsa.” ungkap Iwan Taruna, Rektor Universitas Jember.
Seusai Rektor Universitas Jember menyampaikan pidato pengukuhannya, kesempatan menyampaikan orasi ilmiah yang pertama diberikan kepada Prof. Dr. Drs. I Ketut Mastika, MM. Guru besar asal Bali ini menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan: Wawasan Kearifan Lokal dan Pandangan Resource Based Dalam Penguatan Human Capital Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal”. Guru besar yang menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana hingga doktoralnya di Universitas Jember ini berusaha menemukan formula agar sebuah usaha pariwisata bisa berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi warga.
“Pariwisata sudah menjadi usaha besar yang potensial mendatangkan devisa. Maka tak heran jika banyak destinasi wisata baru bermunculan. Ada yang sukses, namun ada pula yang kemudian tidak berusia panjang. Usaha wisata yang sudah berjalan pun bukannya tanpa masalah, masuknya wisatawan asing yang membawa kebiasaan baru yang mungkin tak cocok dengan budaya kita. Belum lagi dengan nafsu keinginan mencari keuntungan semata dari pelaku wisata yang kerap mengabaikan banyak hal, dari sosial budaya hingga faktor lingkungan. Kesemuanya membuat usaha wisata tak berusia panjang,” tutur Prof. Dr. I Ketut Mastika, MM.
Pria asal Negara, Jembrana ini lantas menjelaskan agar sebuah usaha wisata berkelanjutan maka perlu memperhatikan tiga syarat utama. Yakni harus memiliki nilai (value) tertentu yang bisa berupa kearifan lokal, seni budaya yang spesifik dan lainnya. Kedua produk yang disajikan langka atau tak ada di lokasi lain serta sulit ditiru semisal alam yang indah atau kuliner khas. Jika sebuah usaha memiliki syarat tersebut maka berpotensi dikembangkan sebagai destinasi wisata yang berkelanjutan.
“Faktor selanjutnya adalah pembangunan sumber daya manusia pelaku wisata. Tanpa sumber daya manusia yang kompeten maka penciptaan usaha wisata yang berkelanjutan tidak akan terwujud. Usaha pembangunan sumber daya manusia pelaku wisata yang baik ini bisa melalui pariwisata berbasis masyarakat lokal. Sebab apabila dicermati maka sikap dan perilaku warga lokal yang ramah, sopan, empati dan menjaga rasa aman tamu menjadi esensi dan substansi dari kekuatan pembangunan pariwisata,” jelasnya.
Orasi ilmiah kedua dibawakan oleh Prof. Dr. Sumani, SE., M.Si., CRA., dengan judul “Inovasi Keuangan Untuk Lingkungan: Menjelajahi Potensi dan Strategi Green Finance Dalam Keberlanjutan Bisnis”. Guru besar yang juga Ketua Program Studi Manajemen FEB ini menjelaskan pentingnya entitas bisnis menerapkan green finance yang didefinisikan sebagai pengadaan dan penggunaan dana untuk kegiatan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan dan memberikan fair return bagi para investor atau para pemberi pinjaman.
Pria kelahiran Kabupaten Trenggalek ini pun menjelaskan bahwa keuangan hijau (green finance) ini konsepnya tentu untuk menjamin bahwa pembangunan keberlanjutan bisa dilaksanakan dengan realistis bukan sekedar retorika belaka. Dalam rangka merealisasikan pembangunan keberlanjutan itu penggalian dana atau dari sisi memperoleh dananya harus teralokasi pada proyek yang terkait dengan masalah kelestarian lingkungan. Salah satu contoh dalam penerapan masyarakat yang berorientasi pada konsep keuangan hijau ini adalah penggunaan e-wallet, mobile banking, dan QRIS yang kesemuanya mendukung konsep paperless.
“Dari segi hambatan yang ada tidak jauh dari masalah ekonomi itu sendiri, juga tentang kebijakan, dan literasi atau edukasi kepada masyarakat. Bagaimana usaha kita agar supaya pendanaan atau pembiayaan berorientasi kepada green finance. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengelompokkan subsektor merah, kuning, dan hijau. Untuk subsektor merah memang sama sekali belum menerapkan program yang berorientasi pada green finance, sedangkan subsektor kuning masih sebagian menerapkan. Di samping itu subsektor hijau ini yang telah menerapkan secara penuh program yang berorientasi kepada konsep green finance. Disinilah diperlukan bagaimana tugas kita untuk mengarahkan subsektor yang masih merah atau kuning supaya turut menerapkan green finance.” lanjutnya.
Dengan tambahan dua guru besar baru, kini Universitas Jember memiliki 62 guru besar. Jumlah ini berpotensi akan bertambah, mengingat ada 17 dosen yang jabatan guru besarnya masih berproses di Ditjen Dikti Kemendikbudristek. (iim/dil)