Pusat Studi Gender Unej Menginisiasi Forum Kader Penggerak Desa Responsif Gender dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap Perempuan

Pusat Studi Gender Universitas Jember, 22 November 2023

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi ancaman yang nyata. Jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dari data CATAHU Komnas Perempuan, pada tahun 2022 sejumlah 457.895 kasus  Sebanyak 339.782 dari total pengaduan tersebut adalah kekerasan berbasis gender (KBG). Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99% atau 336.804 kasus. Untuk kasus di ranah publik, tercatat total 2978, sementara itu, kasus kekerasan di ranah negara meningkat hampir 2 kali lipat, dari 38 kasus di 2021 menjadi 68 kasus di 2022. Di Jember, berdasar data dari UPTD PPA, selama tahun 2022, jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 175 kasus dengan total 75 korban. Di antaranya 17 kasus kekerasan fisik, 75 kekerasan psikis, 34 kekerasan seksual, 8 penelantaran, dan 1 kasus trafficking. Kejadian kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sangat mungkin lebih tinggi dari data yang tersebut diatas, mengingat tidak semua kejadian dilaporkan dan diproses secara hukum.

Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Pusat Studi Gender Universitas Jember bekerjasama dengan DP3AKB Kabupaten Jember dan PPK Ormawa Rumah Gerakan Sadar Hukum (RGSH) FH Universitas Jember mengadakan Pelatihan Kader Penggerak Desa Responsif Gender dengan tema “Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Melalui Kelembagaan Desa”.

Ketua PSG UNEJ menyampaikan materi

Pelatihan  di laksanakan secara hybrid di Gedung Cdast Selatan Universitas Jember dan melalui Zoom meeting pada 22 November 2023. Pelatihan secara luring diikuti oleh unsur PKK kelurahan dari ketiga kecamatan di wilayah Kota, yakni kecamatan Sumbersari, kecamatan Patrang, dan Kecamatan Kaliwates. Sedangkan desa-desa lain dari Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso mengikuti secara daring melalui zoom meeting. Kegiatan ini diharapkan menjadi embrio terbentuknya kader desa yang akan menjadi penggerak bagi terwujudnya desa responsive gender yang salah satu indikatornya adalah perempuan bebas dari segala bentuk kekerasan.

“Pelatihan ini diantaranya bertujuan mengajak warga masyarakat untuk aktif mengenali  bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan, dampak bagi korban, keluarga, dan masyarakat. Berikutnya peserta diajak untuk peduli dan mampu mengidentifikasi sumberdaya yang dimilikinya untuk memberikan solusi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan”, Demikian disampaikan oleh Linda Dwi Eriyanti, Ketua PSG UNEJ. Desa/kelurahan adalah bagian dari pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, oleh karenanya pelibatan dan peran aktifnya akan langsung berdampak kepada masyarakat.

“Perlu komitmen pemerintah desa, pemerintah daerah untuk membuat kebijakan dan penganggaran dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, dan kami dari Universitas Jember siap untuk bekerjasama sebagai bentuk tanggungjawab untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan beradab tanpa kekerasan terhadap perempuan” demikian ditegaskan oleh Prof Bambang Kuswandi selaku Warek bidang Perencanaan, Kerjasama dan System Informasi UNEJ dalam sambutan pembukaannya.

Wakil Rektor IV UNEJ membuka kegiatan secara daring

Peserta pelatihan secara aktif mengungkapkan fenomena kekerasan terhadap perempuan yang bentuknya semakin beragam, yang muncul karena konstruksi patriarki yang membatasi akses perempuan disektor ekonomi. “Di tempat kami, bahkan ada istri ketua RT/RW yang pergi meninggalkan rumah karena dipukul suaminya setelah terjerat hutang dari bank keliling”,  demikian diungkapkan oleh salah satu peserta pelatihan dari Kaliwates.

Yamini SH sebagai salah satu fasilitator dalam pelatihan tersebut menegaskan kepedulian perempuan perlu dikembangkan kearah yang positif. Ia menyatakan: “Kepo dengan urusan tetangga tidak selamanya buruk, justru ini penting untuk mengenali korban kekerasan, membantu untuk mengakses layanan aduan, juga berpotensi untuk mambantu korban bangkit dan menjalani kehidupan yang normal sebelumnya”.

sharing session

Kegiatan ini diakhiri dengan komitmen untuk membentuk Forum Kader Penggerak Desa Responsif Gender yang akan melakukan advokasi kekerasan terhadap perempuan di wilayah masing-masing. Advokasi akan dilakukan dengan mendorong kebijakan di tingkat desa, membentuk/menghidupkan lembaga advokasi di desa sekaligus mendorong penganggarannya.

Skip to content