Jember, 8 Mei 2025
Dengan resminya pengukuhan Prof. Dr. Sukatman, M.Pd. sebagai Guru Besar dengan kepakaran di bidang Tradisi Lisan dan Pembelajarannya pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), tidak hanya memperkuat posisi Universitas Jember (UNEJ) dalam kajian budaya lokal, tetapi juga menjadi kontribusi strategis dalam pelestarian identitas nusantara serta penguatan pendidikan karakter dan ketahanan nasional.
Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Tradisi Lisan Nusantara dan Kontribusinya bagi Ketahanan Nasional dan Pendidikan Era Persaingan Antar Bangsa”, Prof. Sukatman menegaskan bahwa tradisi lisan bukan sekadar warisan budaya, melainkan fondasi kebangsaan yang telah eksis jauh sebelum periode kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit. Ia mengangkat keberadaan dinasti-dinasti Nusantara purba seperti Dinasti Cahaya, Nisan, Sura, dan Saka yang menjadi dasar berdirinya NKRI saat ini.
“Dalam waktu yang relatif panjang, Nusantara telah dipecah belah oleh bangsa barat menjadi wilayah Pattani di Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Philipina, PNG, dan terakhir Timor Leste. Jika tidak hati-hati NKRI bisa bubar menjadi negara kecil-kecil. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam strategi pemertahanan negara,” ujar Prof. Sukatman dalam orasinya.
Penelitiannya yang mendalam kerap membawa Prof. Sukatman menjelajah alam terbuka. Salah satu kisah menarik terjadi saat ia meneliti di situs Gunung Padang, Cianjur. Setelah tiga kali mengelilingi situs tanpa hasil, ia akhirnya meminta bantuan juru pelihara situs melakukan ritual adat. Ajaibnya, data yang dicari pun muncul jelas.
“Ini memang tidak bisa dijelaskan secara akademis, tetapi saya hormati adat dan budaya lokal di sana,” kisahnya.
Kajian tradisi lisan purba memang penuh tantangan, terutama karena keterbatasan referensi akademik yang membahas sejarah lebih tua dari 10.000 SM. Namun Prof. Sukatman percaya bahwa penguatan perspektif lokal dalam membaca sejarah sangat penting, terutama dalam membangun kepercayaan diri generasi muda dan memperkuat posisi Indonesia di tengah persaingan global.
Prof. Sukatman berkontribusi melalui upaya rekonstruksi Kebudayaan Nusantara sejak 30.000 SM hingga Abad 1 Masehi, yang menurutnya penting untuk memperkuat argumentasi historis dalam konflik wilayah, seperti sengketa Sipadan dan Ligitan. Ia menyoroti perlunya mengubah persepsi sejarah Nusantara yang selama ini hanya berfokus pada era Sriwijaya atau Majapahit, padahal jauh sebelumnya sudah ada Dinasti-Dinasti Nusantara.
Ia mendorong agar materi Nusantara purba diperkuat dalam pendidikan nasional guna membangun kepercayaan diri generasi muda, serta menata ulang sejarah dengan perspektif kritis dari sudut pandang Nusantara, bukan Barat. Kajian ini dinilai strategis untuk memperkuat ketahanan nasional dan pendidikan karakter bangsa.
Sementara itu, Prof. Sukatman berharap agar wacana kebudayaan lokal Pandhalungan lebih progresif dan kritis, dengan menafsirkan ulang cerita-cerita lokal seperti kisah Raja Minak Jingga secara lebih positif dan kontekstual. Tafsir baru ini perlu divalidasi melalui data arkeologis, penamaan wilayah, serta situs megalitikum yang tersebar di Jawa Timur bagian timur dan wilayah Nusantara lainnya.
Ia juga mengangkat wilayah Pegunungan Argopuro sebagai kawasan yang menyimpan jejak budaya besar, bahkan berpotensi sebagai lokasi terkait kisah Nabi Nuh berdasarkan bukti lisan dan situs arkeologis. Potensi ini, menurutnya, layak dikembangkan sebagai bahan penelitian lanjutan, wisata religi, dan pendidikan karakter kebangsaan. (dil/fzn)