Nalar Moderatisme Keagamaan Di Era New Normal

Oleh: Tauhedi As’ad

 Didalam situasi New Normal pandemi covid-19 tentunya menjadi tugas kita bersama-sama dalam rangka melaksanakan produktivitas segala sektor bidang baik pada bidang aspek kegiatan sosial keagamaan, kesehatan, ekonomi, politik dan pendidikan. Pemerintah telah memberikan skenario New Normal yang menitikberatkan pada perubahan budaya masyarakat untuk berprilaku hidup sehat ditengah pandemi covid-19 dengan menerapkan protokoler kesehatan yang ketat. Dengan demikian, penulis memfokuskan diri pada aspek menjaga moderatisme keagamaan di lingkungan perguruan tinggi melalui dialog online. Skenario New Normal di Perguruan Tinggi khususnya bagi dosen pengampu matakuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) di kampus Universitas Jember berupaya untuk mendialogkan secara kritis agar berpikir moderatisme keagamaan terwujud dan tidak hanya pada sisi kesehatan dan ekonomi belaka melainkan sikap beragama yang baik di tengah-tengah pandemi covid-19 serta menghindari dari gerakan Islam ekstrem yang terselubung didalam memfaatkan situasi dan kondisi saat ini.

Pentingnya dialog dan pencegahan tindak kekerasan atas nama agama khususnya di perguruan Tinggi baik perguruan Tinggi Umum maupun Perguruan Tinggi Agama dan terus-menerus dilakukan dalam bentuk sosialisasi dan seminar Nasional secara daring seperti tahun lalu yang diadakan oleh Universitas Jember dengan dialog yang melibatkan Civitas Academika dalam rangka pencegahan terorisme melalui forum koordinasi pencegahan terorisme (FKPT) Jawa Timur dan juga IAIN Jember pada tanggal 24 Juli 2019 yang dihadiri oleh Brigjen Pol.Ir. Hamli (Direktur Pencegahan BNPT) dari Jakarta Pusat. Dari asal kelahiran sampang ini, pentingnya sosialisasi dan seminar di Perguruan Tinggi agar dikalangan dosen dan mahasiswa saling memberikan pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran Islam, bahwa gerakan radikalisme dan terorisme bukanlah ajaran Islam, namun kegiatan sosialisasi dan dialog tersebut sebelum lahirnya virus corona awal di Cina.

Mengingat kembali peristiwa di media sosial baik mengenai sikap intoleransi keagamaan maupun kekerasan sosial-politik, bom bunuh diri dan menyebarkan berita hoax. Kejadian tersebut tentunya berakar dari cara pandang berpikir mereka terhadap pandangan dunia dan minimnya berpikir keIslaman yang mendalam sehingga berimplikasi terhadap prilaku-prilaku keagamaan dan sosial kemasyarakatan yang menyimpang, bukan hanya tindak kekerasan fisik melainkan kekerasan berpikir dan wacana seperti menghakimi kebenaran tunggal, membenarkan pendapat kelompoknya sendiri dan bahkan menjanjikan fatwa jihad surga. Karena itulah, tindak kekerasan apapun tidak diajarkan oleh setiap agama dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya mengancam kasih-sayang, menghargai perbedaan dan menjaga kehormatan diri kita masing-masing. Didalam pandangan Islam tidak hanya mengajarkan tentang akidah-tauhid dan syariah-fiqh akan tetapi, mengajarkan tentang ihsan yaitu akhlak yang mulia sebagaimana sabda Nabi Muhammad, saya telah diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak.

Tindak nalar kekerasan Islam teosentris ke nalar Islam antroprosentris, karena berawal dari pengalaman peristiwa-peristiwa sejarah agama khususnya ajaran agama Islam dipahami secara liretalistik didalam penggalan sejarah klasik. Sedangkan pengalaman sejarah tentang tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama bisa dilihat dari lahirnya agama itu sendiri dengan doktrin-doktrin jihad dan pengorbanan. Sementara didalam ajaran Islam tentunya tidak mengajarkan kekerasan beragama melainkan cara pandang mereka terhadap agama itu sendiri berdasarkan konteks sosial-politik yang mempengaruhinya sehingga mereka berjuang demi Tuhan dan agama. Idealnya, ajaran agama tidak sama sekali mengajarkan tindak kekerasan melainkan kedamaian manusia. Menurut Moch Nur Ichwan, ada lima yang menyebabkan agama tidak lepas dari tindak kekerasan. Pertama, agama dan ajaran tentang pengorbanan, kedua, agama identik dengan asumsi logika baik-buruk dan benar-salah, ketiga, misi dakwah dan ekspansi agama tidak jarang dilaksanakan dengan cara-cara tindak kekerasan, keempat, kitab suci kadangkala mengandung pernyataan tersirat maupun tersurat untuk membolehkan, menganjurkan bahkan mewajibkan tindak kekerasan, kelima, setiap individu dan kelompok dalam masing-masing agama berpaham radikal untuk melakukan tindak kekerasan.

Tujuan Tuhan menciptakan manusia supaya manusia menjaga dan melindungi dari beragam tindak kekerasan yang terjadi didalam kehidupan sosial sebagaimana terjadi sebelum Islam hadir yaitu dominasi kabilah suku Arab yang disebut dengan masyarakat jahiliyah. Masyarakat jahiliyah tidak mengenal kitab suci dan undang-undang yang resmi bahkan kepemimpinan antar kepala suku saling mengusai terhadap suku lain dengan pola berpikir ekstrem kanan dan ekstrem kiri serta tidak mengenal jalan kompromi. Maka menurut Machasin, Islam lahir ada bertentangan dalam masalah kekerasan minimal dalam dua wajah, yang pertama, Islam menekankan kebebasan dalam beragama dan tidak ada paksaan dalam agama, serta menganjurkan bersikap lemah-lembut dan saling memaafkan, kedua, Islam memerintahkan terhadap para pemeluknya untuk melakukan perang melawan orang-orang yang dilabeli dengan kekuatan-kekuatan anti Iman.

Dengan demikian, kedua wajah tersebut bisa berkompromi dengan alasan bahwa yang pertama merupakan semangat seruannya dalam posisi normal, pandangan kedua muncul pada saat tidak lagi memungkinkan kewajaran. Karena itu, bisa jadi terdapat penyimpangan dalam perjalanan peradaban umat Islam dari garis dasarnya sehingga membentuk wajah yang keras dan garang dari Islam dan prilaku mereka melakukan tindakan-tindakan destruktif atas nama agama. Kekerasan atas nama agama bisa jadi kesalahan berpikir didalam memahami pesan makna al-Quran atau dipahami secara tekstual sehingga pesan-pesan agama tidak mengajarkan humanisme keagamaan yaitu ajaran agama yang berpusat pada manusia sebagai inter-relasi kemanusiaan untuk menjaga kemuliaan agama itu sendiri sehingga terciptanya humanisme dalam suasana New Normal pandemi covid-19 di Perguruan Tinggi  khususnya kampus tercinta Universitas Jember yang bebas dari lingkaran radikalisme. Semoga bermanfaat. Waallahu a’lam.

Penulis adalah dosen (PAI-MKU) Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember.

Skip to content