Multi Impact Kebijakan Keempat Kampus Merdeka

Oleh: Yuli Witono*)

Perubahan implemetasi dalam pengelolaan dan pembelajaran di perguruan tinggi patut direspon dengan positif dan kritis seraya mempersiapkannya dengan cepat dan serius agar sukses dalam pelaksanaanya. Perubahan tersebut telah dideklarasikan oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim sebagai kebijakan Kampus Merdeka, meliputi merdeka dalam pembukaan prodi baru, merdeka dari ‘ritual’ 5 tahunan ‘proyek’ administratif akreditasi, merdeka menaikan status menjadi PTNBH dan merdeka menempuh kegiatan pembelajaran di luar prodi atau di luar kampus selama 3 semester. Terobosan inovatif dan cukup radikal ini telah diluncurkan begitu cepat tanpa menyentuh proses perubahan pada level Undang-undangannya, segera dieksekusi pelaksanaannya bersama peraturan menteri yang rancangannya telah banyak beredar secara berantai di media sosial.

Implementasi pendidikan tinggi untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul sering terkendala oleh ketatnya regulasi. Masa berlakunya akreditasi 5 tahunan menjadikan Program Studi (Prodi) dan Perguruan Tinggi (PT) seolah hanya disibukkan dengan urusan-urusan yang kurang produktif yakni administrasi dan dokumentasi kelembagaan hingga menguras seluruh daya PT. Disparitas dalam hal kualitas yang sangat tinggi antar PT di wilayah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur dan antar PT di Jawa dengan Luar Jawa serta keterbatasan anggaran dan fasilitas pembelajarannya juga menjadi kendala klasik bagi kebanyakan perguruan tinggi yang masih berada di kluster 2 ke bawah untuk lebih cepat berkembang dan maju dalam mencetak sarjana-sarjana unggul. Belum lagi daya serap lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang masih rendah yakni sekitar 20% yang bekerja sesuai bidangnya (Kemenristekdikti, 2019) yang berarti jumlah pengangguran terdidik masih sangat besar. Hal ini terjadi, karena lulusan PT terutama sarjana Strata 1 secara umum dianggap belum siap kerja akibat belum siapnya menghadapi permasalahan riil di masyarakat.

Demikian juga standarisasi dalam proses pembelajaran akan menjadi tidak terlalu relevan bila diterapkan untuk semua PT karena kualitas inputnya tidak equal antar klaster PT. Oleh karena itu, kemerdekaan dalam mengelola perguruan tinggi dan implementasi proses pembelajaran menjadi faktor yang sangat penting untuk dilakukan. Prodi atau PT tinggal fokus pada peningkatan kualitas lulusan. Birokrasi dan tata kerja organisasi perguruan tinggi diatur bukan untuk menghambat kemajuan, namun justru harus mendorong percepatan pencapaian output yang diharapkan.

Kebijakan keempat kampus merdeka adalah redifinisi SKS (Satuan Kredit Semester) dan pemberian ruang yang seluas-luasnya bagi setiap mahasiswa untuk meningkatkan kompetensinya selama 3 semester dengan menempuh program kuliah di luar prodi dalam kampus atau kegiatan pembelajaran di luar kampus. Kebijakan keempat ini sekaligus menjadi program andalan kementerian yang dalam implementasinya tanpa menambah masa studi. PT sebenarnya merupakan kampus kehidupan yang ‘semu’, karena kampus kehidupan yang nyata sesungguhnya berada di masyarakat atau lingkungan luar prodi. Belajar mengendarai mobil yang sesungguhnya bukanlah di lapangan yang lurus, rata dan sepi, namun justru di jalan raya berkelok, naik turun dan ramai. Begitu juga tantangan kehidupan yang nyata adalah di luar kampus, oleh karena itu mendikbud memberikan opsi bagi mahasiswa untuk meraih predikat sebagai lulusan yang memiliki kemampuan complex problem solving di era industri 4.0. Sarjana bidang apapun memerlukan kemampuan tambahan ketika terjun ke masyarakat. Dunia kerja masa kini menghendaki SDM yang full competent, multi-talent yakni ahli dalam bidangnya namun tidak gagap dengan keragaman masalah dalam lingkungan kerjanya, piawai dalam keilmuannya namun tetap berwawasan interdisipliner dan berkarakter kuat. Kelengkapan atribut kompetensi tersebut tidak mesti harus diperoleh dalam satu prodi yang diminatinya namun juga perlu diraih di luar prodi maupun di luar kampus untuk menghubungkan calon sarjana sedekat mungkin dengan kampus kehidupan nyata selama studi, dengan tanpa meninggalkan core competency yang ditekuninya dengan komposisi 5 semester tetap konsentrasi ada prodi homebase-nya dan 3 semester bisa ditempuh di luar prodi atau luar kampus. Adapun kegiatan selama 3 semester yang bisa ditempuh meliputi: magang/pratek kerja, proyek desa, mengajar di sekolah, pertukaran mahasiswa, penelitian, wirausaha, proyek independen dan kegiatan kemanusiaan. Contoh: program pertukaran mahasiswa (student exchange) atau praktek kerja dan kuliah kerja nyata di masyarakat yang selama ini telah dilakukan oleh perguruan tinggi, umumnya membuat masa studi mahasiswa menjadi lebih lama, karena mahasiswa harus menyelesaikan dulu program kuliahnya selama 7 atau 8 semester. Dengan program kampus merdeka keempat ini, kegiatan tersebut telah include dalam masa studi berjalan selama 3 semester terakhir. Terkait sinkronisasi dengan kegiatan di luar prodi atau prodi di luar kampus asal, tidak akan terlampau sulit apabila ada good will yang sama di antara pimpinan PT di Indonesia untuk melakukan pertukaran mahasiswa. Demikian juga bobot SKS yang telah diredifinisi dari satuan waktu belajar menjadi satuan waktu kegiatan akan menjadi lebih fleksibel dan memudahkan dalam pelaksanaannya.

Program 3 semester di luar prodi atau di luar kampus akan berimplikasi pada budaya resource sharing antar PT baik dalam maupun luar negeri. Melalui student research exchange antar PT juga akan menjadi ruang yang efektif bagi terjadinya knowledge exchange dan culture exchange serta meningkatkan self-confident lulusan. Oleh karenanya, kesepahaman kerjasama antar PT harus banyak dibangun dan menjangkau hingga kesepakatan financial sharing, proses equivalency capaian pembelajaran dan sistem evaluasinya. Kawin massal antar PT ke depan akan terjadi secara lebih masif. Hal ini juga akan berdampak mempersempit disparitas dalam hal kualitas dan fasilitas pembelajaran antar PT. Bahkan ke depan perlu dikembangkan ruang seluas-luasnya dengan program academic staff exchange antar PT, beserta reward untuk terjadinya mobilitas dosen antar PT tanpa hambatan sistem kepegawaian yang tidak inline dengan pencapaian output.

Kemerdekaan dalam pegelolaan PT perlu diikuti dengan kemerdekaan oleh pimpinan PT kepada para sivitasnya untuk memberikan ruang ekspreasi yang seluas-luasnya dalam mengembangkan proses belajar mengajar, penelitian dan pengabdian masyarakat dengan tidak banyak membebani dengan permasalahan administratif yang sering membuat putus asa dosen. Oleh karenya, indikator kinerja dosen tidak lagi diasses dari jumlah dokumen namun lebih pada output dan outcome dari kerja-kerja yang dilakukan. Selanjutnya para dosen juga harus ikhlas memberikan kemerdekaan kepada para mahasiswanya untuk beraktivitas dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, merindukan dan menyemangati (encouragement), tidak banyak membebani dengan tugas-tugas yang bersifat administratif yang menguras waktu dan biaya besar mahasiswa untuk menyelesaikannya yang sebenarnya tidak linkage dengan kompetensi yang ingin dicapai. Dosen harus mampu berperan menciptakan nilai tambah bagi mahasiswa dalam setiap satuan kredit kegiatan, mengembangkan model-model assessment yang tidak harus dengan cara memberikan kuis atau ujian kertas yang pada akhirnya membelit dosen dengan koreksi bertumpuk, karena yang perlu dipahami bahwa nilai hasil belajar bukanlah nilai akhir ujian melainkan assessment selama proses belajar dan interaksi selama proses kegiatan pembelajaran. Mendidik adalah proses menyemangati anak-anak didik dari yang biasa-biasa saja menjadi yang luar biasa. Selamat menyambut dan mengisi kemerdekaan belajar mengajar di kampus nan luas seluas Indonesia bahkan dunia menuju pintu gerbang kesuksesan generasi unggul, cerdas dan berkarakter.

*) Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Uiversitas Jember, Ketua II Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Pusat dan President of FANRes International Network

Skip to content